Jambarpost.com, Bungo- Defisit era pemerintahan H. Mashuri dan H Safruddin Dwi Apriyanto (Hamas-Apri), merupakan kondisi terparah sepanjang sejarah berdirinya Kabupaten Bungo. Diprediksi, angka defisit di tahun ini diperkirakan mencapai Rp400 miliar.
Tentu saja, hal ini sudah melampaui kewajaran. Beberapa kegiatan fisik masih banyak terkesan dipaksakan. Padahal, ditengah pandemi mewabahnya bencana covid-19 lebih diutamakan untuk pencegahan dan penanganan secara utuh.
Mantan Ketua DPRD Bungo M. Mahilli HM, mengaku terkejut dengan defisit anggaran yang tinggi dan menyebut kalau defisit ini jadi rekor baru kepemimpinan Hamas-Apri. Kata Mahilli, saat Bungo dipimpin SZ, defisit dibawah Rp100 Miliar dan bisa diatasi dengan SILPA.
"Kalo zaman SZ masih tahap kewajaran. Angkanya dibawah Rp100 miliar. Itupun masih tertutup dengan dana SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran)," ungkap mantan Ketua DPRD pada zaman SZ-Mashuri ini.
Bukan itu saja, menurut Mahilli, perubahan anggaran di era SZ maupun ZA cuma 1 kali dan tidak pernah sampai 8 kali penyesuaian anggaran. Hal ini diduga kurang matangnya perencanaan dan terlalu mengikuti kehendak, sehingga tidak efektif dalam pembangunan dan kestabilan keuangan daerah.
"Perencanaan tidak matang. Mestinya belajar dari pengalaman yang tahun lalu. Kan tahun lalu juga defisit, tapi kenapa tahun ini malah makin bertambah. Jangan bencana Covid-19 dan pendanaan pilkada dijadikan alasan. Karena defisit bukan masalah dari pusat, tapi perencanaan APBD itu sendiri yang kurang matang," tegasnya.
Dijelaskan, di tengah pandemi Covid-19 ini jangan mengedepankan ambisi tanpa mempertimbangkan kesanggupan yang dimiliki.
"Misalnya kita cuma punya anggaran Rp1,2 Triliun dipaksakan dengan belanja mencapai Rp1,8 Triliun. Itu sangat tidak wajar. Akhirnya, banyak hutang dan APBD dipotong," ulasnya lagi.
Sebelumnya, pengamat ekonomi Universitas Jambi, Prof Samsurizal Tan pernah mengatakan fenomena defisit anggaran ini sudah terjadi jauh sebelum pandemi.
"Sebelum pandemi pun kita sudah defisit, namanya defisit bajet, kalau untuk APBN di tutup dengan pinjaman asing. Kalau di APBD itu di tutup dengan SILPA atau pinjaman dari APBN," ujar Prof Samsurizal Tan.
Prof Samsurizal Tan juga memberikan solusi kepada pemerintah daerah di Provinsi Jambi, untuk memperkuat dan menggali potensi UMKM dan pedesaan.
"Solusinya pemerintah daerah harus gali dan dorong habis-habisan UMKM maupun ekonomi pedesaan," tegasnya baru-baru ini dilansir dari metrojambi.com.
Menurut sumber terpercaya, jumlah defisit anggaran Kabupaten Bungo tahun 2019 berkisar 237 Miliar. SiLPA dari hasil audit adalah sebesar 64 Miliar lebih, dengan rincian :
Silpa mengikat (dana sertifikasi guru, DAK, dll) sebesar 44 Miliar lebih, termasuk sertifikasi guru Tri Wulan 3 sebesar 4 Miliar dan Silpa murni sekitar 20 Miliar.
Jadi defisit 2019 yang menjadi hutang di tahun 2020 adalah 177 Miliar.
Kemampuan APBD Bungo hanya 1.3 Triliun. Untuk memperbesar jumlah APBD dimasukkan dana khusus yang sebenarnya harus langsung ke rekening penerima seperti dana BOS, sertifikasi guru dan dana desa. Sehingga APBD Bungo 2020 dengan jumlah 1,8 Triliun terkesan dipaksakan.
"Info terakhir ada rasionalisasi sehingga menjadi 1,6 Triliun.
Defisit semakin bertambah karena pembiayaan Pilkada dan adanya Covid-19 sehingga defisit diperkirakan sampai 400 Miliyar," jelasnya.
"Sesuai PMK 125/PMK.07/ 2019, batas maksimal defisit dengan katagori sangat tinggi adalah 4,5% dari total APBD yaitu sekitar 60 Miliyar. Kalau tunda bayar sebanyak 177 Miliar dan defisit tahun 2020 yang mencapai ratusan Milyar, berarti ini sudah tarap bahaya," pungkasnya.
Saat beberapa kali akan dikonfirmasi ke pihak BPKAD Kabupaten Bungo, sayangnya Kepala dan Sekretaris BPKAD Bungo selalu tidak ada di ruang kerjanya. Begitu juga saat dihubungi via telpon tidak pernah mendapat respon.
"Dak tau kemana pak Kaban dan Sekban, diruangannya kosong," ujar staf BPKAD Bungo saat dimintai keterangan. (**/ade)
sumber; suarabutesarko.com